2
BAB II. PEMBAHASAN
1. Asas Otonomi Dan Desentralisasi Dalam
Negara Kesatuan
Salah satu aspek konstitusional penyelenggaraan negara
dan pemerintahan sejak Indonesia merdeka adalah persoalan
yang berkaitan dengan penyelenggaraan otonomi sebagai
subsistem negara kesatuan (Manan, 2001:21). Berdasarkan
Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 Negara Indo-
nesia ialah negara kesatuan yang berbentuk Republik. Prinsip
pada negara kesatuan ialah bahwa yang memegang tampuk
kekuasaan tertinggi atas segenap urusan negara ialah
Pemerintah Pusat tanpa adanya delegasi atau pelimpahan
kekuasaan kepada Pemerintah Daerah (Local Government)
(Lubis, 1983:8). Dalam negara kesatuan terdapat asas bahwa
segenap urusan-urusan negara tidak dibagi antara pemerintah
pusat (central government) dengan Pemerintah lokal (Local
Government) sedemikian rupa, sehingga urusan-urusan
negara dalam negara kesatuan tetap merupakan suatu
kebulatan (eenheid) dan bahwa pemegang kekuasaan
tertinggi di negara itu ialah Pemerintah Pusat (Huda,
2014:241).
Di dalam negara kesatuan, pemerintah pusat
menjalankan kedaulatan tertinggi negara. Agar tidak
sewenang-wenang, aktivitas pemerintah pusat diawasi dan
dibatasi oleh undang-undang. Konsekuensi logis dari
posisinya sebagai penyelenggara kedaulatan negara, maka
unit-unit pemerintahan yang dibentuk dan berada di bawah
pemerintah pusat, harus tunduk kepada pemerintah pusat.
Tanpa disertai ketundukan dan kepatuhan secara
organisasional berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku, akan menjadi tumpang tindih dan tabrakan
dalam pelaksanaan kewenangan (prinsip unity command)
(Wasistiono, 2004:9).
Di dalam negara kesatuan tanggung jawab pelaksanaan
tugas-tugas pemerintahan pada dasarnya tetap berada di
tangan Pemerintah Pusat. Akan tetapi, karena sistem
pemerintahan Indonesia salah satunya menganut asas negara
kesatuan yang didesentralisasikan, maka ada tugas-tugas
tertentu yang diurus sendiri, sehingga menimbulkan
hubungan timbal balik yang melahirkan adanya hubungan
kewenangan, keuangan, pengawasan, dan antar satuan
organisasi pemerintahan (Huda, 2014:241).
Substansi pembagian daerah dalam Negara Kesatuan
Republik Indonesia diatur dalam pasal 18 ayat (1) Undang-
Undang Dasar 1945 yang berbunyi “Negara Kesatuan
Republik Indonesia dibagi atas kabupaten dan kota, yang
tiap-tiap provinsi, kabupaten dan kota itu mempunyai
pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang”.
Perubahan ini dimaksudkan untuk lebih memperjelas
pembagian daerah dalam negara Kesatuan Republik Indo-
nesia yang meliputi daerah provinsi dan dalam daerah Provinsi terdapat Kabupaten dan Kota. Hal ini juga termaktub
di dalam pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2014.
Istilah “dibagi atas” (bukan “terdiri atas”) dalam
ketentuan Pasal 18 ayat (1) bukanlah istilah yang digunakan
secara kebetulan. Istilah itu langsung menjelaskan bahwa
negara kita adalah negara kesatuan di mana kedaulatan
negara berada di tangan pusat. Hal ini konsistensi dengan
kesepakatan untuk tetap mempertahankan bentuk negara
kesatuan. Berbeda dengan istilah “terdiri atas” yang lebih
menunjukkan substansi federalisme karena istilah itu
menunjukkan letak kedaulatan berada di tangan negara-
negara bagian (MPR RI, 2003:102-103).
Otonomi daerah diadakan bukan sekedar menjamin
efisiensi penyelenggaraan pemerintahan. Bukan sekedar pula
menampung kenyataan yang luas, penduduk banyak, dan
berpulau-pulau. Lebih dari itu, otonomi daerah merupakan
dasar memperluas pelaksanaan demokrasi dan instrumen
mewujudkan kesejahteraan umum. Tidak kalah penting,
otonomi daerah merupakan cara memelihara negara
kesatuan. Daerah-daerah otonomi yang bebas dan mandiri
mengatur dan mengurus rumah tangga pemerintahan
sendiri, merasa diberi tempat yang layak dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara, sehingga tidak ada alasan untuk
keluar dari RI (Manan, 2001:3).
Lebih lanjut disampaikan Bagir Manan (Manan, 2001:26)
otonomilah sebagai ujung tombak usaha mewujudkan
kesejahteraan. Mengingat fungsi kesejahteraan akan
menghadapkan pemerintahan pada kenyataan konkret yang
berbeda-beda antara daerah satu dengan daerah lain serta
berkembang mengikuti dinamika kebutuhan masyarakat
setempat, maka dalam otonomi harus tersedia ruang gerak
yang cukup untuk melakukan kebebasan menjalankan
pemerintahan. Untuk memungkinkan penyelenggaraan
kebebasan tersebut dan sekaligus mencerminkan otonomi
sebagai satuan demokratis, maka otonomi senantiasa
memerlukan kemandirian atau keleluasaan. Bahkan tidak
berlebihan apabila dikatakan hakekat otonomi adalah
kemandirian, walaupun bukan suatu bentuk kebebasan
sebuah satuan yang merdeka. Untuk mewujudkan
kemandirian atau keleluasaan, otonomi berkait erat dengan
pola hubungan antara pusat dan daerah yang meliputi
berbagai segi yaitu hubungan kewenangan, hubungan
pengawasan, hubungan keuangan dan lain sebagainya.
Otonomi daerah merupakan wujud kehidupan demokrasi
dalam konteks penyelenggaraan negara kesatuan
(eenheidstaat). Otonomi daerah merupakan wadah kehidu-
pan demokrasi. Rakyat melalui wakil mereka (Dewan Perwa-
kilan Rakyat Daerah), turut serta dalam penyelenggara peme-
rintahan, berdasarkan otonomi daerah yang dibangun dalam
sistem pemerintahan desentralisasi. Rakyat mengatur rumah
tangga mereka sendiri dalam rangka penyelenggaraan
otonomi daerah (Huda, 2014:411).
Suatu negara kesatuan baru merupakan wujud
pemerintahan demokrasi tatkala otonomi daerah dijalankan
secara efektif guna pemberdayaan kemaslahatan rakyat,
mencakupi kewenangan zelfwetgeving (peraturan daerah-
peraturan daerah) yang mengakomodir kepentingan rakyat
banyak dan penyelenggaraan pemerintahan (zefbestuur)
yang diemban secara demokratis. Porsi otonomi daerah tidak
cukup dalam wujud otonomi daerah yang luas dan
bertanggungjawab, tetapi harus diwujudkan dalam format
otonomi daerah yang seluas-luasnya (Marzuki, 2006:161).
Dengan demikian otonomi bukan sekedar mekanisme
pemerintahan untuk mewujudkan administrasi negara yang
efektif dan efisien. Otonomi adalah salah satu garda depan
penjaga negara kesatuan. Sebagai penjaga negara kesatuan,
otonomi memikul beban dan pertanggungjawaban
pelaksanaan tata pemerintahan yang demokratis berdasarkan
atas hukum untuk mewujudkan pemerataan kemakmuran,
kesejahteraan, keadilan baik di bidang ekonomi, politik,
maupun sosial dengan cara menghormati dan menjunjung
perbedaan-perbedaan antar daerah baik atas dasar sosial,
budaya, ekonomi, geografi dan lain sebagainya. Pengakuan
atas berbagai perbedaan tersebut sangat penting untuk
menunjukkan bahwa kehadiran daerah tetap penting di
tengah tengah tuntutan kesatuan (Manan, 2001:vii).
Kalangan ilmuwan pemerintahan dan politik pada
umumnya mengidentifikasi sejumlah alasan mengapa
desentralisasi perlu dilaksanakan pada sebuah negara, yaitu
antara lain (1) dalam rangka peningkatan efisiensi dan
efektifitas penyelenggaraan pemerintahan,
(2) sebagai wahana pendidikan politik masyarakat di daerah, (3) dalam rangka
memelihara keutuhan negara kesatuan atau integrasinasional, (4) untuk mewujudkan demokrasi dalam
penyelenggaraan pemerintahan yang dimulai dari daerah,
(5) guna memberikan peluang bagi masyarakat untuk
membentuk karir dalam bidang politik dan pemerintahan,
(6) sebagai wahana yang diperlukan untuk memberikan
peluang bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses
perencanaan dan pelaksanaan pemerintahan, (7) sebagai
sarana yang diperlukan untuk mempercepat pembangunan
di daerah, dan yang terakhir adalah (8) guna mewujudkan
pemerintahan yang bersih dan berwibawa (Syaukani, dkk,
2009:vii).
Pada hakikatnya, desentralisasi itu sendiri dapat dibedakan
dari karakterikstisnya, yaitu; (Darumurti dan Rauta, 2003:47)
1. Desentralisasi teritorial (territorial decentralization), yaitu
penyerahan urusan pemerintahan atau pelimpahan
wewenang untuk menyelenggarakan suatu urusan
pemerintahan dari pemerintah yang lebih tinggi kepada
unit organisasi pemerintah yang lebih rendah berdasarkan
aspek kewilayahan.
2. Desentralisasi fungsional (functional decentralization),
yaitu penyerahan urusan-urusan pemerintahan atau
pelimpahan wewenang untuk menyelenggarakan suatu
urusan pemerintahan dari pemerintah yang lebih tinggi
kepada unit-unit pemerintah yang lebih rendah berda-
sarkan aspek tujuannya (seperti Subak di Bali).
3. Desentralisasi politik (political decentralization), yaitu
pelimpahan wewenang yang menimbulkan hak untuk
mengurus diri kepentingan rumah tangga sendiri bagi
badan-badan politik di daerah-daerah yang dipilih oleh
rakyat. Ini terkait juga dengan desentralisasi teritorial
4. Desentralisasi budaya (cultural decentralization), yaitu
pemberian hak kepada golongan-golongan tertentu untuk
menyelenggarakan kegiatan kebudayaannya sendiri.
Misalnya, kegiatan pendidikan oleh kedutaan besar
negara asing, otonomi nagari dalam menyelenggarakan
kegiatan kebudayaannya sendiri, dan sebagainya. Dalam
hal ini sebenarnya tidak termasuk urusan pemerintahan
daerah.
5. Desentralisasi ekonomi (economic decentralization),
yaitu pelimpahan kewenangan dalam penyelenggaraan
kegiatan ekonomi
6. Desentralisasi administratif (administratif decentraliza-
tion), yaitu pelimpahan sebagian kewenangan kepada
alat-alat atau unit pemerintahan sendiri di daerah.
Pengertiannya identik dengan dekonsentrasi.
Keenam karakteristik desentralisasi tersebut dapat
dikaitkan dengan tujuan dan mafaat yang dapat diperoleh
dengan ditetapkannya kebijakan desentralisasi dan
dekonsentrasi yang pada pokoknya merupakan kebijakan
yang diperlukan untuk mengatasi kecenderungan terjadinya
penumpukan kekuasaan di satu pusat kekuasaan. Di samping
itu, dengan kebijakan desentralisasi dan dekonsentrasi juga
diharapkan dapat terwujud fungsi-fungsi kekuasaan negara
yang efektif dan efisien, serta terjaminnya manfaat-manfaat
lain yang tidak dapat diharapkan dari sistem pemerintahan
yang terlalu terkonsentrasi dan bersifat sentralistik (Wijayanti
dan Satriawan, 2009:161).
Oleh karena itu ada beberapa tujuan dan manfaat yang
biasa dinisbatkan dengan kebijakan desentralisasi yaitu:
(Darumurti dan Rauta, 2003:30)
1. Dari segi hakikatnya, desentralsiasi dapat mencegah
terjadinya penumpukan (concetration of power) dan
pemusatan kekuasaan (centralised power) yang dapat
menimbulkan tirani.
2. Dari sudut politik, desentralisasi merupakan wahana
untuk pendemokratisasian kegiatan pemerintahan.
3. Dari segi teknis organisatoris, desentralisasi dapat
menciptakan pemerintahan yang lebih efektif dan efisien
4. Dari segi sosial, desentralisasi dapat membuka peluang
partisipasi dari bawah yang lebih aktif dan berkem-
bangnya kaderisasi kepemimpinan yang bertanggung
jawab karena proses pengambilan keputusan tersebar di
pusat-pusat kekuasaan di seluruh daerah
5. Dari sudut budaya, desentralisasi diselenggarakan agar
perhatian dapat sepenuhnya ditumpahkan kepada
kekhususan-kekhususan yang terdapat di daerah,
sehingga keanekaragaman budaya dapat terpelihara dan
sekaligus didayagunakan sebagai modal yang mendo-
rong kemajuan pembangunan dalam bidang-bidang
lainnya.
6. Dari sudut kepentingan pembangunan ekonomi, karena
pemerintah daerah dianggap lebih banyak tahu, dan
secara langsung berhubungan dengan kepentingan di
daerah, maka dengan kebijakan desentralisasipembangunan ekonomi dapat terlaksana dengan lebih
tepat dan dengan biaya yang lebih murah
Hal ini diperkuat oleh oleh Shabbir Cheema and
Rondinelli (Syaukani, dkk, 2009: 32-34) menyampaikan
paling tidak ada empat belas (14) alasan yang merupakan
rasionalitas dari desentralisasi, yaitu:
1. Desentralisasi dapat merupakan cara yang ditempuh
untuk mengatasi keterbatasan karena perencanaan yang
bersifat sentralistik, dengan mendelegasikan sejumlah
kewenangan, terutama dalam perencanaan
pembangunan, kepada pejabat di daerah yang bekerja
di lapangan dan tahu betul masalah yang dihadapi
masyarakat. Dengan desentralisasi maka perencanaan
dapat dilakukan sesuai dengan kepentingan masyarakat
di daerah yang bersifat heterogen.
2. Desentralisasi dapat memotong jalur birokrasi yang rumit
serta prosedur yang sangat terstruktur dari pemerintah
pusat.
3. Dengan desentralisasi fungsi dan penugasan kepada
pejabat di daerah, maka tingkat pemahaman serta
sensitivitas terhadap kebutuhan masyarakat daerah akan
meningkat. Kontak hubungan yang akan meningkat
antara pejabat dengan masyarakat setempat akan
memungkinkan kedua belah pihak untuk memiliki
informasi yang lebih baik, sehingga dengan demikian
akan mengakibatkan perumusan kebijasanaan yang lebih
realistik dari pemerintah.
4. Desentralisasi akan mengakibatkan terjadinya “penetrasi”
yang lebih baik dari pemerintah pusat bagi daerah-daerah
terpencil atau sangat jauh dari pusat, dimana seringkali
rencana pemerintah tidak difahami oleh masyarakat
setempat atau dihambat oleh elite lokal, dan dimana
dukungan terhadap program pemerintah sangat terbatas.
5. Desentralisasi memungkinkan representasi yang lebih
luas dari berbagai kelompok politik, etnis, keagamaan
di dalam perencanaan pembangunan yang kemudian
dapat memperluas kesamaan dalam mengalokasikan
sumber daya dan investasi pemerintah.
6. Desentralisasi dapat meningkatkan kapasitas peme-
rintahan serta lembaga private di daerah, yang kemudian
dapat meningkatkan kemampuan mereka untuk
mengambil alih fungsi yang selama ini dijalankan oleh
departemen yang ada di pusat. Dengan desentralisasi
maka peluang bagi masyarakat didaerah untuk
meningkatkan kapasitas teknis dan managerial.
7. Desentralisasi dapat meningkatkan efisiensi pemerintahan
di pusat dengan tidak lagi pejabat puncak di pusat
menjalankan tugas rutin karena hal itu dapat diserahkan
kepada pejabat daerah. Dengan demikian pejabat pusat
didaerah dapat menggunakan waktu dan energi mereka
untuk melakukan supervisi dan pengawasan terhadap
implementasi kebijaksanaan.
8. Desentralisasi juga dapat menyediakan struktur di mana
berbagai departemen di pusat dapat dikoordinasi secara
efektif bersama dengan pejabat daerah dan sejumah
NGOs di berbagai daerah. Propinsi, kabupaten dan kota
dapat menyediakan basis wilayah koordinasi bagi pro-
gram pemerintah, khususnya di dunia ke III di mana
banyak sekali program pedesaan yang dijalankan.
9. Struktur pemerintahan yang didesentralisasikan
diperlukan guna melembagakan partisipasi masyarakat
dalam perencanaan dan implementasi program. Struktur
seperti itu dapat merupakan wahana bagi pertukaran
informasi yang mmenyangkut kebutuhan masing-masing
daerah kemudian secara bersama-sama
menyampaikannya kepada pemerintah.
10.Dengan menyediakan modal alternatif cara pembuatan
kebijaksanaan, desentralisasi dapat meningkatkan
pengaruh atau pengawasan atas berbagai aktifitas yang
dilakukan oleh elit lokal, yang seringkali tidak simpatik
dengan program pembangunan nasional dan tidak sen-
sitive terhadap kebutuhan kalangan miskin di pedesaan.
11.Desentralisasi dapat menghantarkan kepada administrasi
pemerintahan yang mudah disesuaikan, inovatif, dan
kreatif. Pemerintah daerah dapat memiliki peluang untuk
menguji inovasi, serta bereksperimen dengan
kebijaksanaan yang baru di daerah-daerah tertentu tanpa
harus menjustifikasinya kepada seluruh wilayah negara.
Kalau mereka berhasil maka dapat dicontoh oleh daerah
yang lainnya.
12.Desentralisasi perencanaan dan fungsi manajemen dapat
memungkinkan pemimpin di daerah menetapkan
pelayanan dan fasilitas secara efektif di tengah-tengah
masyarakat, mengintegrasikan daerah-daerah yang,terisolasi, memonitor dan melakukan evaluasi
implementasi proyek pembangunan dengan lebih baik
dari pada yang dilakukan oleh pejabat di daerah.
13.Desentralisasi dapat memantapkan stabilitas politik dan
kesatuan nasional dengan memberikan peluang kepada
berbagai kelompok masyarakat di daerah untuk
berpartisipasi secara langsung dalam pembuatan
kebijaksanaan, sehingga dengan demikian akan
meningkatkan kepentingan mereka di dalam memelihara
sistem politik.
14.Desentralisasi dapat meningkatkan penyedia barang dan
jasa di tingkat lokal dengan biaya yang lebih rendah,
karena hal itu tidak lagi menjadi beban pemerintah pusat
karena sudah diserahkan kepada daerah.
Penyelenggaraan pemerintahan di daerah adalah
penyelenggaraan pemerintahan di pusat, sehingga apapun
yang terjadi di daerah akan mempengaruhi jalannya
pemerintahan di pusat begitu pula sebaliknya apapun yang
terjadi di pusat akan berdampak di daerah. Oleh karena itu
hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah
tidak akan terputus. Hubungan antara pemerintah pusat dan
daerah bagaikan orang tua dan anaknya yang selalu akan
terjalin meskipun kadang-kadang terjadi konflik dalam
hubungan tersebut. Selama bentuk negara Indonesia masih
berbentuk kesatuan, maka hubungan tersebut akan terus
ada (Wijayanti dan Satriawan, 2009:158).
Otonomi daerah adalah subsistem dari sistem
pemerintahan sebuah negara yang juga menjadi bagian dari
sistem yang lebih luas. Kompleksitas sistem tersebut amat
berpengaruh pada kesuksesan mengelolanya. Kompleksitas
otonomi disumbang oleh segi-segi yang melingkupinya.
Segi-segi tersebut, antara lain, pertama; segi hukum. Hukum
otonomi adalah segi yang dipenuhi oleh warna kompleksitas
yang besar. Kompleksitas hukum otonomi selain disumbang
oleh hukum nasional juga oleh hukum lokal. Bahkan, hukum
otonomi di beberapa tempat di Indonesia mengandung
unsur hukum lokal yang berada di luar hukum negara, yakni
hukum adat setempat. Kedua; politik. Kompleksitas politik
yang mempengaruhi jalannya otonomi daerah lebih banyak
didominasi oleh kompleksitas politik lokal. Namun, politik
nasional sering kali jadi variabel antara politik nasional bahkan
seolah jadi prasyarat membaiknya politik lokal. Artinya,
politik lokal akan membaik jika politik nasional mampu
diperbaiki. Oleh karena itu, wajar masyarakat Indonesia
mendambakan Jokowi sebagai pemimpin nasional agar
mampu mengatasi segala masalah lokal yang begitu
beragam di Indonesia. Ketiga; birokrasi. Kompleksitas
birokrasi justru sebaliknya: birokrasi nasional-lah yang lebih
banyak berperan dalam kesuksesan mengelola kompleksitas
otonomi daerah. Birokrasi nasional harus sepenuhnya
mendukung otonomi daerah. Meski akhirnya manajemen
pemerintahan di daerah dilaksanakan oleh birokrasi lokal,
birokrasi nasional yang setengah hati dalam otonomi mampu
membuat otonomi daerah gagal. Birokrasi nasional harus
mampu memberikan teladan bagi cara kerja birokrasi lokal.
Dalam hal ini sistem pembagian urusan jadi tumpuan.
Dengan kata lain, kompleksitas birokrasi disumbang oleh
sistem pembagian urusan. Pembagian urusan yang tidak
clear-cut akan membawa kompleksitas birokrasi dalam
kebijakan otonomi daerah, yang dapat bermasalah pada
kemudian hari. Keempat; sosial-budaya. Kompleksitas sosial-
budaya menyangkut keadaan masyarakat setempat dan
sistem nilai yang berkembang. Soal ini pertama-tama akan
dihadapi oleh struktur formal dalam pemerintahan daerah.
Pertanyaannya, tidakkah Indonesia sangat beragam? Apakah
hukum nasional mampu jadi tumpuan keberagaman itu?
Keberagaman dan kreativitas lokal yang tidak mampu
tertampung dengan baik dalam sistem hukum nasional kelak
membawa keterbatasan jalannya otonomi daerah itu sendiri.
Keempat, kompleksitas itu saling terkait. Kompleksitas itu
berada dalam sistem negara Republik Indonesia.
Kompleksitas otonomi daerah di Indonesia adalah produk
dari kompleksitas negara dan bangsa Indonesia yang
berbentuk republik dengan sistem negara kesatuan. Bentuk
dan sistem pemerintahan negara Republik Indonesia adalah
alat mencapai cita-cita bangsa Indonesia. Oleh karena itu,
kompleksitas yang melingkupinya adalah kompleksitas dari
alat pencapaian cita-cita bangsa, pemerintahan Jokowi-Kalla
tidak mungkin efektif jika tak mampu memahami
kompleksitas yang ada (Irfan, Kompas 11 Maret 2015).
Desentralisasi dan otonomi daerah yang berlangsung sejak
1 Januari 2001 adalah suatu peristiwa yang menimbulkan
perubahan mendasar pada hubungan antara pemerintah
pusat dan daerah, sekaligus mengubah perilaku sebagianmasyarakat Indonesia yang sebelumnya hanya terfokus pada
satu pusat kekuasaan, pemerintah pusat di Jakarta.
Pentingnya desentralisasi dan otonomi daerah mungkin
dapat disejajarkan dengan proses demokratisasi yang terjadi
begitu drastis pada tahun 1998. Desentralisasi memang
merupakan konsekuensi logis dari munculnya kehidupan
demokrasi di Indonesia sejak berakhirnya rezim orde baru.
Kedua proses tersebut bahkan mempunyai beberapa
kesamaan yang tidak terbantahkan lagi. Kedua-duanya
berlangsung pada saat perekonomian nasional sedang berada
dalam kondisi sangat parah setelah krisis perekonomian
1998. Keduanya juga berlangsung dalam skala yang besar
dan terjadi dalam masa yang sangat singkat, bahkan hampir
tanpa masa transisi yang memadai (Huda, 2014:416).
Otonomi daerah di Indonesia memasuki babak baru
dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2014 tentang Pemerintahan Daerah. Perubahan
pemerintahan daerah di Indonesia kalau mengacu dimensi
waktu, sebenarnya relatif tidak panjang, apalagi kalau melihat
perubahan pemerintahan daerah pasca reformasi, hanya
kurang satu dasawarsa perubahan pengelolaan pemerintahan
daerah mengalami berbagai perubahan. Perubahan kebijakan
dalam hubungan pusat dan daerah tidak bisa dilepaskan
dari konteks, format dan ideologi politik penguasa. Ketika
penguasa baru saja tampil dan menyusun kekuatan, maka
dikembangkan kebijakan yang agak terbuka. Namun ketika
kekuasaan sudah berhasil mengkonsolidasi diri, maka
kebijakan bisa dirubah dengan tertutup, otoritarisme atau
malah totaliterisme. Munculah pergeseran dari ultra vires
doctrine (merinci satu persatu urusan) menjadi open and
arrangement atau residual power (konsep kekuasaan sisa).
Konsep Desentralisasi dalam Undang-Undang Nomor 23
tahun 2014 ini adalah penyerahan Urusan Pemerintahan oleh
Pemerintah Pusat kepada daerah otonomi. Sedangkan
pengertian Otonomi Daerah adalah hak, wewenang, dan
kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus
sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat
setempat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indone-
sia. Hal ini sesuai dengan pasal 18 ayat (5) Undangt-Undang
Dasar 1945 bahwa pemerintahan daerah menjalankan
otonomi daerah seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan
yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan
pemerintah pusat.
Penyerahan urusan tersebut dimaksudkan membawa
efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan
daerah yang perlu ditingkatkan dengan lebih memperhatikan
aspek-aspek hubungan antara Pemerintah Pusat dengan
daerah dan antar daerah, potensi dan keanekaragaman
daerah, serta peluang dan tantangan persaingan global dalam
kesatuan sistem penyelenggaraan pemerintahan negara.
Selain itu penyelenggaraan pemerintahan daerah diarahkan
untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat
melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran
serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah
dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan,
keadilan, dan kekhasan suatu daerah dalam sistem Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
mengklasifikasi urusan Pemerintahan terdiri atas urusan
pemerintahan absolut, urusan pemerintahan konkuren, dan
urusan pemerintahan umum. Selanjutnya secara rinci
disebutkan dalam pasal 10 ayat (1) mengenai urusan
pemerintahan absolut yang merupakan sepenuhnya menjadi
urusan pemerintah pusat meliputi: a. politik luar negeri; b.
pertahanan; c. keamanan; d. yustisi; e. moneter dan fiskal
nasional; dan f. agama. Sedangkan yang disebut sebagai
urusan pemerintahan konkuren adalah Urusan Pemerintahan
yang dibagi antara Pemerintah Pusat dan Daerah provinsi
dan Daerah kabupaten/kota.Urusan pemerintahan konkuren
yang diserahkan ke Daerah menjadi dasar pelaksanaan
Otonomi Daerah. Urusan pemerintahan konkuren di dalam
Pasal 9 ayat (3) dijelaskan bahwa yang menjadi kewenangan
Daerah terdiri atas Urusan Pemerintahan Wajib dan Urusan
Pemerintahan Pilihan. Urusan Pemerintahan Wajib terdiri atas
Urusan Pemerintahan yang berkaitan dengan Pelayanan
Dasar dan Urusan Pemerintahan yang tidak berkaitan dengan
Pelayanan Dasar. Urusan Pemerintahan Wajib yang berkaitan
dengan Pelayanan Dasar tersebut adalah Urusan
Pemerintahan Wajib yang sebagian substansinya merupakan
Pelayanan Dasar.
Selanjutnya dalam Pasal 12 ayat (1) dijelaskan bahwa
Urusan Pemerintahan Wajib yang berkaitan dengan
Pelayanan Dasar meliputi: a. pendidikan; b. kesehatan; c.
pekerjaan umum dan penataan ruang; d. perumahan rakyatdan kawasan permukiman; e. ketenteraman, ketertiban
umum, dan pelindungan masyarakat; dan f. sosial. Dalam
pasal 12 ayat (2) Urusan Pemerintahan Wajib yang tidak
berkaitan dengan Pelayanan Dasar sebagaimana dimaksud
meliputi: a. tenaga kerja; b. pemberdayaan perempuan dan
pelindungan anak; c. pangan; d. pertanahan; e. lingkungan
hidup; f. administrasi kependudukan dan pencatatan sipil;
g. pemberdayaan masyarakat dan Desa; h. pengendalian
penduduk dan keluarga berencana; i. perhubungan; j.
komunikasi dan informatika; k. koperasi, usaha kecil, dan
menengah; l. penanaman modal; m. kepemudaan dan olah
raga; n. statistik; o. persandian; p. kebudayaan; q.
perpustakaan; dan r. kearsipan. Sedangkan Urusan
Pemerintahan Pilihan diaturdalam Pasal 12 ayat (3) meliputi:
a. kelautan dan perikanan; b. pariwisata; c. pertanian; d.
kehutanan; e. energi dan sumber daya mineral; f.
perdagangan; g. perindustrian; dan h. transmigrasi.
2. Hubungan Antara Pusat dan Daerah
dalam otonomi Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2014
Desentralisasi adalah sebuah mekanisme penyelenggaraan
pemerintahan yang menyangkut pola hubungan antara
pemerintahan nasional dan pemerintahan lokal. Di dalam
mekanisme ini pemerintahan nasional melimpahkan
kewenangan kepada pemerintahan dan masyarakat setempat
atau lokal untuk diselenggarakan guna meningkatkan
kemaslahatan hidup masyarakat (Syaukani, dkk, 2009:xvii).
Hubungan antara Pemerintah Pusat (Pusat) dan Daerah
mencakup isi yang sangat luas, bisa terkait dengan isu
nasionalisme dan nation building, bisa pula dengan isu
demokrasi nasional dan demokrasi lokal, dan oleh karena
itu terkait pula dengan isu hubungan antara negara dan
masyarakat. Hubungan antara Pusat dan Daerah merupakan
sesuatu yang banyak diperbincangkan, karena masalah
tersebut dalam praktiknya sering menimbulkan upaya tarik
menarik kepentingan (spanning of interest) antara kedua
satuan pemerintahan. Terlebih dalam negara kesatuan, upaya
pemerintah pusat untuk selalu memegang kendali atas
berbagai urusan pemerintahan sangat jelas (Huda, 2009:1).
Model Hubungan antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah secara teoritis menurut Clarke dan Stew-
ard dapat dibedakan menjadi tiga, yakni: (Huda, 2009:248)
Pertama, The relative Autonomy Model, memberikan
kebebasan yang relatif besar kepada pemerintah daerah
dengan tetap menghormati eksistensi pemerintah pusat.
Penekanannya adalah pada pemberian kebebasan bertindak
bagi pemerintah daerah dalam kerangka kekuasaan/tugas
dan tanggung jawab yang telah dirumuskan oleh peraturan
perundang-undangan; kedua The Agency Model. Model
dimana pemerintah daerah tidak mempunyai kekuasaan
yang cukup berarti sehingga keberadaannya terlihat lebih
sebagai agen pemerintah pusat yang bertugas untuk
menjalankan kebijaksanaan pemerintah pusatnya. Karenanya
pada model ini berbagai petunjuk rinci dalam peraturan
perundangan sebagai mekanisme kontrol sangat menonjol.
Pada model ini pendapatan asli daerah bukanlah hal penting
dan sistem keuangan daerahnya didominasi oleh bantuan
dari pemerintah pusat; ketiga The Interaction Model.
Merupakan suatu bentuk model dimana keberadaan dan
peran pemerintah daerah ditentukan oleh interaksi yang
terjadi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Menurut Bagir Manan, paling tidak ada empat faktor
yang menentukan hubungan pusat dan derah dalam otonomi
yaitu hubungan kewenangan, hubungan keuangan,
hubungan pengawasan dan hubungan yang timbul dari
susunan organisasi pemerintahan di daerah (Manan,
2001:37). Hubungan kewenangan antara lain bertalian
dengan cara pembagian urusan rumah tangga daerah. Cara
penentuan ini akan mencerminkan suatu bentuk otonomi
terbatas atau otonomi luas. Dapat digolongkan sebagai
otonomi terbatas apabila; pertama urusan-urusan rumah
tangga daerah ditentukan secara kategoris dan
pengembangannya diatur dengan cara-cara tertentu pula.
Kedua; apabila sistem supervisi dan pengawasan dilakukan
sedemikian rupa, sehingga daerah otonom kehilangan
kemandirian untuk menentukan secara bebas cara-cara
mengatur dan mengurus rumah tangga daerahnya. Ketiga;
sistem hubungan keuangan antara pusat dan daerah yang
menimbulkan hal-hal seperti keterbatasan kemampuan
keuangan asli daerah yang akan membatasi ruang gerak
otonomi daerah. Otonomi luas biasa bertolak dari prinsip
semua urusan pemerintahan pada dasarnya menjadi urusanrumah tangga daerah, kecuali yang ditentukan sebagai
urusan pusat.
Upaya menemukan format hubungan antara pusat dan
daerah yang ideal dalam kerangka negara kesatuan bukanlah
persoalan yang mudah ditemukan, karena hal itu merupakan
proses yang berjalan seiring dengan perjalanan bangsa In-
donesia. Salah satu aspek yang dapat mempengaruhi pola
hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah
adalah susunan organisasi pemerintahan daerah, terlebih
dalam negara kesatuan yang desentralistik. Kewenangan
yang dijalankan oleh pemerintah pusat dalam negara
kesatuan sangatlah luas dan mencakup seluruh warga negara
yang ada di dalam maupun di luar negeri. Oleh karena itu,
mutlak dilakukan delegasi kewenangan (delegation of au-
thority) baik dalam rangka desentralisasi maupun
dekonsentrasi. Sebagai konsekuensi dibentuknya satuan
pemerintahan di tingkat daerah, sudah barang tentu disertai
dengan tindakan lain yakni urusan-urusan pemerintahan apa
saja yang dapat diserahkan dan dijalankan oleh satuan
pemerintahan di daerah. Atau urusan-urusan pemerintahan
yang akan diserahkan kepada pemerintah daerah sebagai
konsekuensi pelaksanaan desentralisasi, titik berat
pelaksanaan akan diletakkan pada daerah yang mana.
Berdasarkan hal tersebut, maka susunan organisasi
pemerintahan di daerah akan berpengaruh terhadap
hubungan antara pusat dan daerah. Hal ini dapat dilihat
dari peran dan fungsi masing-masing susunan atau tingkatan
dalam penyelenggaaan otonomi. Artinya peran dan fungsi
tersebut dapat ditentukan oleh pelaksanaan titik berat
otonomi yang dijalankan. Pengaturan dan pelaksanaan titik
berat otonomi sangat ditentukan oleh beberapa faktor yaitu:
(a) sistem rumah tangga daerah; (b) ruang lingkup urusan
pemerintahan; dan (c) sifat dan kualitas suatu urusan
(Manan, 1995:194-195).
Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2014 dapat diterjemahkan pola hubungan antara pemerintah
pusat dan daerah sebagai berikut:
1. Desentralisasi adalah penyerahan sebagian kewenangan
eksekutif dari Pemerintah Pusat kepada Daerah, dimana
dalam pasal 9 (sudah disebutkan di halaman sebelumnya)
bahwa Urusan pemerintahan Konkuren inilah yang
menjadi dasar Otonomi Daerah. Urusan Pemerintahan
Konkuren yang diserahkan meliputi Urusan Wajib dan
Urusan Pilihan. Pada Urusan Wajib ada Urusan Wajib
Pelayanan dasar dan Urusan Wajib Non Pelayanan Dasar.
Berdasarkan pembagian urusan kewenangan tersebut,
merujuk pada teori Model Hubungan antara Pemerintah
Pusat dan Pemerintah Daerah secara teoritis menurut
Clarke dan Steward termasuk The Agency Model. Model
dimana pemerintah daerah tidak mempunyai kekuasaan
yang cukup berarti sehingga keberadaannya terlihat lebih
sebagai agen pemerintah pusat yang bertugas untuk
menjalankan kebijaksanaan pemerintah pusatnya.
Karenanya pada model ini berbagai petunjuk rinci dalam
peraturan perundangan sebagai mekanisme kontrol
sangat menonjol.
2. Pembagian urusan pemerintahan konkuren tersebut
berdasarkan Pasal 13 didasarkan pada prinsip
akuntabilitas, efisiensi, dan eksternalitas, serta
kepentingan strategis nasional. Prinsip akuntabilitas
dimaksudkan bahwa Penanggungjawabnya berdasarkan
kedekatannya dengan luas, besaran, dan jangkauan
dampak yang ditimbulkan oleh penyelenggaraan suatu
Urusan Pemerintahan. Adapun yang dimaksud dengan
prinsip efisiensi adalah Perbandingan tingkat daya guna
yang paling tinggi yang dapat diperoleh. Sedangkan
Prinsip eksternalitas merupakan Luas, besaran, dan
jangkauan dampak yang timbul akibat penyelenggaraan
suatu Urusan Pemerintahan. Dan Prinsip kepentingan
strategis nasional bahwa dalam rangka menjaga keutuhan
dan kesatuan bangsa, kedaulatan Negara, implementasi
hubungan luar negeri, pencapaian program strategis
nasional dan pertimbangan lain.
3. Berdasarkan pasal 13 ayat (2) kriteria Urusan
Pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah
Pusat adalah:
a. Urusan Pemerintahan yang lokasinya lintas Daerah
provinsi atau lintas negara;
b. Urusan Pemerintahan yang penggunanya lintas
Daerah provinsi atau lintas negara;
c. Urusan Pemerintahan yang manfaat atau dampak
negatifnya lintas Daerah provinsi atau lintas negara;
d. Urusan Pemerintahan yang penggunaan sumber
dayanya lebih efisien apabila dilakukan olehPemerintah Pusat; dan/atau
e. Urusan Pemerintahan yang peranannya strategis bagi
kepentingan nasional
4. Sedangkan yang menjadi kewenangan pemerintah daerah
provinsi disebutkan dalam Pasal 13 ayat (3) meliputi;
a. Urusan Pemerintahan yang lokasinya lintas Daerah
kabupaten/kota;
b. Urusan Pemerintahan yang penggunanya lintas
Daerah kabupaten/kota;
c. Urusan Pemerintahan yang manfaat atau dampak
negatifnya lintas Daerah kabupaten/kota; dan/atau
d. Urusan Pemerintahan yang penggunaan sumber
dayanya lebih efisien apabila dilakukan oleh Daerah
Provinsi;
5. Selanjutnya dalam Pasal 13 ayat (4) kriteria Urusan
Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah
kabupaten/kota adalah:
a. Urusan Pemerintahan yang lokasinya dalam Daerah
kabupaten/kota;
b. Urusan Pemerintahan yang penggunanya dalam
Daerah kabupaten/kota;
c. Urusan Pemerintahan yang manfaat atau dampak
negatifnya hanya dalam Daerah kabupaten/kota; dan/
atau;
d. Urusan Pemerintahan yang penggunaan sumber
dayanya lebih efisien apabila dilakukan oleh Daerah
kabupaten/kota.
6. Pembagian urusan kewenangan tersebut dikontrol oleh
pemerintah pusat dengan menerapkan norma, standar,
prosedur, dan kriteria (NPSK) dalam rangka
penyelenggaraan Urusan Pemerintahan; dan
melaksanakan pembinaan dan pengawasan terhadap
penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang menjadi
kewenangan Daerah. Hal ini tercantum dalam Pasal 16.
Norma, standar, prosedur, dan kriteria tersebut berupa
ketentuan peraturan perundang-undangan yang
ditetapkan oleh Pemerintah Pusat sebagai pedoman
dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan konkuren
yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat dan yang
menjadi kewenangan Daerah. Penetapan norma, standar,
prosedur, dan kriteria dilakukan paling lama 2 (dua) tahun
terhitung sejak peraturan pemerintah mengenai
pelaksanaan urusan pemerintahan konkruen
diundangkan. Apabila dalam jangka waktu 2 (dua) tahun
Pemerintah Pusat belum menetapkan norma, standar,
prosedur, dan kriteria, penyelenggara Pemerintahan
Daerah melaksanakan Urusan Pemerintahan yang
menjadi kewenangan Daerah.
7. Pada pasal 18 ditentukan adanya skala prioritas
pelaksanaan urusan, bahwa Pemerintahan Daerah
memprioritaskan pelaksanaan Urusan Pemerintahan
Wajib yang berkaitan dengan Pelayanan Dasar. Juga
ditekankan bahwa Pelaksanaan Pelayanan Dasar pada
Urusan Pemerintahan Wajib yang berkaitan dengan
Pelayanan Dasar berpedoman pada standar pelayanan
minimal (SPM) yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
Dengan kata lain, Pemerintah provinsi dan Pemerintah
kabupaten/Kota wajib memprioritaskan 6 (enam) urusan
Pelayanan Dasar yang disebut pada Pasal 12, yaitu:
pendidikan; kesehatan; pekerjaan umum dan penataan
ruang; perumahan rakyat dan kawasan permukiman;
ketenteraman, ketertiban umum, dan perlindungan
masyarakat; dan sosial. Artinya keenam program
pelayanan dasar ini mendapatkan prioritas pembiayaan,
sumber daya manusia, Sarana/prasarana, dan
manajemennya sehingga bisa berjalan baik ditingkat
Provinsi dan Kabupaten/ Kota. Berkaitan dengan urusan
wajib pemerintahan berkaitan dengan pelayanan dasar
(8 urusan) tidak perlu diatur lagi di Daerah karena sudah
memiliki SPM dan NSPKnya, sehingga Daerah sudah
langsung dapat melaksanakannya;
8. Sedangkan berkaitan dengan urusan wajib non pelayanan
dasar (18 urusan) perlu dilakukan pemetaan urusan
masing-masing Daerah (Pasal 24), dimana bahwa
intensitas masing-masing urusan tersebut pasti berbeda,
hal ini dilakukan untuk menentukan tipologi SKPD.
Semakin tinggi tipologi urusannya, maka alokasi APBN
akan semakin besar, tidak selama ini yang dibuat sama
rata di semua daerah. Pemetaan dilakukan dengan vari-
able umum, terdiri dari jumlah penduduk, besaran APBD,
dan luas wilayah, sedangkan untuk variable khususnya
dapat disusun bersama-sama dengan kementerian/
lembaga terkait.
9. Menurut DR. Kurniasih, SH, M.Si selaku Direktur UrusanPemerintah Daerah Wilayah I Ditjen Otonomi Daerah
Kementerian Dalam Negeri. Sesuai dengan UU Nomor
23 Tahun 2014, terjadi peralihan kewenangan urusan
pemerintahan, hal ini perlu segera dilakukan peralihan
kewenangan tersebut, bukan dengan MoU (kesepakatan/
kerjasama) karena Pemerintah Daerah merupakan sub
ordinat dari Pemerintahan diatasnya (http://
wirapati.raddien.com/2015/03/sosialisasi-implementasi-
uu-232014-bagi.html diakses pada 5 mei 2015). Perlu
adanya penegasan terhadap kekuasaan pemerintahan,
bahwa sesuai dengan Pasal 5 Undang-Undang Nomor
23 Tahun 2014, Presiden RI memegang kekuasaan
pemerintahan sesuai dengan Undang-Undang Dasar
1945 dimana kekuasaan pemerintahan tersebut diurai
ke dalam berbagai urusan pemerintahan, dimana
berbagai urusan pemerintahan tersebut dilaksanakan di
Daerah berdasarkan asas Desentralisasi, Dekonsentrasi,
dan Tugas Pembantuan. Selanjutnya beliau menjelaskan
bahwa untuk pemetaan urusan pilihan berdasarkan
potensi, proyeksi penyerapan tenaga kerja, dan
pemanfaatan lahan, dimana tujuan dari pemetaan ini
adalah menentukan Daerah apakah mempunyai atau
melaksanakan urusan pemerintahan pilihan dimana
Pemetaan urusan pemerintahan ini secara umum
bertujuan untuk menyusun SOTK Pemerintah Daerah
dimana nomenklatur perangkat daerah harus
memperhatikan pedoman dari kementerian/lembaga
pemerintah non kementerian terkait. Hal ini diatur dalam
Pasal 211.
10.Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 ini pun
berpedoman dengan Undang-Undang Nomor 5 tahun
2014 tentang Aparatur Sipil Negara, dimana tujuan
umumnya antara lain: (a) Untuk menjaga profesionalisme
dan menjauhkan birokrasi dari intervensi politik maka
perlu diatur Standar Kompetensi Jabatan dalam birokrasi
pemerintah daerah dan (b) Selain memenuhi kompetensi
teknis, kompetensi manajerial dan kompetensi social
cultural menjadi pertimbangannya.
11.Berkaitan dengan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri
Nomor 120/253/SJ tanggal 16 Januari 2015 perlu
ditekankan kembali bahwa: (a) Dengan berlakunya
Undang-Undang 23 Tahun 2014 otomatis urusan
pemerintahan harus beralih, sedangkan yang diberikan
tenggang waktu diselesaikan 2 tahun ke depan adalah
yang berkaitan dengan Personel, pendanaan, Sarana dan
prasarana serta dokumen (P3D). Hal ini sesuai dengan
Pasal 404 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 dan
(b) Perubahan SOTK dilakukan setelah adanya pemetaan
urusan pemerintahan, Provinsi perlu melakukan pemetaan
urusan Kabupaten/Kota didampingi oleh Kementerian/
Lembaga Pemerintah Non kementerian. Yang perlu
diperhatikan adalah akibat adanya peralihan kewenangan,
seperti personil/pegawai, aset dan pendanaannya.
Apabila dicermati, Pada Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2014, masih menerapkan pola residual
power atau open arrangement, bahkan urusan pemerintah
dibagi menjadi urusan pemerintah absolut, urusan
pemerintah konkruen dan urusan pemerintahan umum (pasal
9) urusan pemerintah absolut adalah urusan pemerintah yang
sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah pusat (politik
luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan
fiskal, dan agama) urusan pemerintah konkruen adalah
Urusan Pemerintahan yang dibagi antara Pemerintah Pusat
dan Daerah provinsi dan Daerah kabupaten/kota. Urusan
pemerintahan umum adalah Urusan Pemerintahan yang
menjadi kewenangan Presiden sebagai kepala pemerintahan.
Selain itu dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014,
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah masih sama kedudukannya
dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 yakni
sebagai bagian dari penyelenggara pemerintahan daerah
(http://harryuban.blogspot.com/2014/12/review UU No 23
diakses pada15 Mei 2015).
Adanya pembagian urusan antara pemerintah pusat dan
daerah tersebut mencerminkan bahwa Indonesia masih
menjalankan adanya bentuk negara kesatuan. Daerah diberi
kewenangan namun sudah diperinci dalam undang-
undangnya, hal ini memberikan penafsiran bahwa pemberian
kewenangan tersebut masih di bawah kontrol dan kendali
dari pemerintah pusat. Apabila dikaitkan dengan teori Clarke
dan Steward, model hubungan antara pemerintah pusat dan
daerah bisa dikategorikan menganut The Agency Model.
Model dimana pemerintah daerah tidak mempunyai
kekuasaan yang cukup berarti sehingga keberadaannya
terlihat lebih sebagai agen pemerintah pusat yang bertugasuntuk menjalankan kebijaksanaan pemerintah pusatnya.
Karenanya pada model ini berbagai petunjuk rinci dalam
peraturan perundangan sebagai mekanisme kontrol sangat
menonjol.
Hal ini sangat wajar mengingat proses pemberian
kewenangan dari pemerintah pusat ke daerah
dilatarbelakangi oleh beberapa faktor dan sistem politik yang
terjadi di Indonesia. Pemerintah pusat tidak menginginkan
adanya kebebasan pemerintah daerah dalam menjalankan
kewenangan yang diberikan dalam undang-undang, namun
masih ada pengawasan dan kontrol yang harus dilakukan
pemerintah pusat.
Komentar
Posting Komentar